Pendidikan Jaman Dulu dan Jaman Sekarang (post 1)
Ketika merenungkan dan memperbandingkan pola pendidikan
jaman dulu dengan pola yang ada sekarang ini, merasa JIWA dan SENI ajar
mengajar sudah mengalami perbedaan dan pergeseran nilai. Berbincang dengan
teman-teman lain yang entah berperan sebagai orang tua, pengamat pendidikan
atau lainnya, mereka juga merasakan perbedaan itu. Dampak dari semua itu adalah
perilaku anak yang dinilai beda dengan perilaku jaman kita di usia yang sama.
Kalau mau dinilai secara objektif, tentu saja ada sisi positif dan sisi
negatif.
Sebuah peribahasa Latin yang berbunyi “Non scholae sed vitae
discimus” (Kita
belajar bukan untuk sekolah tetapi
untuk hidup)
dapat diterjemahkan sebagai kita belajar bukan untuk nilai sekolah, namun demi
nilai kehidupan. Artinya di sini adalah tujuan utama dari sekolah bukanlah demi
nilai yang tinggi atau demi orang tua, diri sendiri atau guru/sekolah, namun
yang ingin dicapai dengan bersekolah adalah mendapat manfaat (baca: ilmu) yang
bisa dipergunakan dalam hidup.
Perbedaan pendidikan jaman dulu dan jaman sekarang saya
perbandingkan dari sisi:
- Orientasi pendidikan
- Institusi pendidikan
- Tenaga pendidik
- Materi pendidikan
Note: Sebagai catatan
jaman dulu yang dimaksud adalah sekitar tahun 1950 – tahun 1980-an.
ORIENTASI PENDIDIKAN
Orientasi Pendidikan Jaman Dulu
Pada awalnya pendidikan dimaksudkan untuk mendidik benih
manusia agar anak manusia ini tumbuh menjadi seorang yang berakhlak tinggi dan
mulia, yang berbeda dengan manusia purba. Investasi manusia di sini
berarti memanusiakan manusia, yaitu mengajarkan nilai kehidupan kepada seorang
anak manusia, yang diibaratkan benih manusia. Misi utama lembaga pendidikan
adalah mengajarkan budi pekerti, etika, saling mengalah dan mendulukan kepentingan
umum di atas kepentingan pribadi. Hal ini diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Setelah itu institusi
dan tenaga pendidik baru akan mengajarkan keterampilan yang membuat benih
manusia itu mampu menyokong hidupnya sendiri di masa depan.
Orientasi Pendidikan Jaman Sekarang
Pendidikan sekarang lebih berorientasi kepada bagaimana
meningkat kecerdasan, prestasi, keterampilan, dan bagaimana menghadapi
persaingan. Pendidikan sekarang kehilangan misi utamanya untuk investasi
karakter manusia. Pendidikan moral dan karakter bukan lagi merupakan
faktor utama seorang anak mengenyam pendidikan. Kedua hal ini dianggap menjadi
tugas para tokoh agama, tugas orang tua atau wali di rumah. Sekolah berlomba
menonjolkan kurikulum yang dipercaya bisa menciptakan generasi muda super dari
usia sedini mungkin. Para orang tua juga tergiur dan ingin anaknya menjadi
“super kid.” Kata teman-teman saya: “Biar pensiun muda!”
INSTITUSI PENDIDIKAN
Institusi Pendidikan Jaman Dulu
Jaman dulu sekolah didirikan oleh pemerintah atau para
misionaris dan pemuka agama. SD Negeri, SMP Negeri, SMA Negeri adalah judul
sekolah yang didirikan dan beroperasi atas anggaran Departemen Pendidikan. Para
misionaris yang awalnya berasal dari Belanda melalui misi penyebaran agama
Kristiani juga mendirikan sekolah sebagai wujud pelayanan, di samping
mendirikan rumah sakit. Madrasah-madrasah, tsanawiyah-tsanawiyah juga berdiri
dan dikelola oleh pemuka agama dan mesjid.
Karena misi utama mereka adalah pelayanan dan kembali kepada
orientasi pendidikan yang diemban, maka sekolah dalam hal ini tidak mengejar
keuntungan secara materi. Pada jaman dulu memang ada perbedaan biaya juga,
yaitu antara sekolah favorit dan sekolah yang tidak begitu unggul. Orang tua
juga berupaya agar anaknya bisa masuk sekolah favorit, walaupun harus
mengeluarkan dana lebih banyak.
Institusi Pendidikan Jaman Sekarang
Jaman sekarang orang pribadi, yayasan atau perusahaan swasta
boleh mendirikan institusi pendidikan. Hal ini membuat misi utama sebuah
institusi pendidikan tidak lagi murni untuk pelayanan sosial, namun orang atau
yayasan atau perusahaan yang mendirikan lembaga pendidikan tersebut akan
memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Ini berarti sebuah sekolah atau
lembaga pendidikan adalah suatu investasi. Agar mempunyai daya saing satu
dengan lainnya, masing-masing menghadirkan kelebihan yang tidak dimiliki
sekolah tradisional yang sudah ada, misalnya dari segi kurikulum, sarana
pendidikan, tenaga pengajar asing dsb.
TENAGA PENDIDIK
Pada jaman ini seseorang memilih menjadi guru lebih
terdorong oleh hasrat dalam diri untuk membaktikan diri. Ia memahami
konsekuensi menjadi guru adalah melayani, dan sudah sadar bahwa ia tidak akan
kaya seperti seorang pengusaha. Di era 1980-n seorang guru yang mempunyai
kemampuan lebih bisa memberikan les privat di luar jam sekolah, itu adalah
pemasukan tambahan selain gaji pokok sebagai seorang guru. Ada juga yang
membuka warung kecil-kecilan untuk menambah lauk di rumah. Belum lagi di daerah
terpencil, tenaga mereka dihargai dengan hasil lading orang tua murid. Maka di
jaman itu kita sering mendengar istilah: “Guru adalah pahlawan tanpa tanda
jasa.”
Guru pada jaman itu merupakan suatu profesi yang sangat
terhormat, karena dianggap memiliki pengetahuan lebih daripada masyarakat
setempat. Masyarakat juga menuntut para guru mengajarkan nilai moral kepada
anak-anak mereka, di samping pengetahuan baca tulis dan berhitung. Guru
juga punya hak otoriter sebagai pengganti orang tua bila anak berada di
sekolah. Cara mendidik mereka lebih banyak menggunakan pendekatan pribadi
yang membuat interaksi guru murid lebih erat. Hal ini terbawa sampai di luar
jam sekolah karena kondisi social masyarakat jaman dulu yang lebih bersifat
kekeluargaan.
Tenaga Pendidik Jaman Sekarang
Perekrutan tenaga pendidik sekarang (baca: Mayoritas) lebih mengutamakan nilai kelulusan dan sertifikasi yang dimiliki guru tersebut. Apakah guru tersebut sudah pasti kompeten mengajar dengan kelulusan yang bernilai tinggi dan banyaknya sertifikat yang dimiliki? Belum tentu. (Maaf, tidak ada sedikit pun maksud saya untuk menyamaratakan dedikasi dan porensi semua guru). Namun sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sekolah-sekolah yang ingin merekrut guru di samping pengalaman minimal 1 atau 2 tahun juga meminta bukti berupa sertifikat yang dimiliki guru tersebut sebagai bukti bahwa ia mempunyai ‘skill’ lebih. Tuntutan ekonomi membuat dedikasi mengajar sebagai suatu pelayanan menjadi berkurang. Bisa dimaklumi karena media apapun sekarang berlomba menawarkan barang konsumsi. Guru juga seorang manusia, ia punya keluarga yang harus dihidupi. Di jaman sekarang tuntutan ekonomi seakan tidak pernah habis, malah selalu naik setiap tahunnya.
Cara mendidik guru sekarang juga sangat jarang menggunakan
pendekatan pribadi lagi. Wibawa seorang guru tidak lagi dianggap sebagai pihak
otoriter yang mesti disegani, dipanuti. Murid menganggap guru mengajar hanya
menjalankan kewajiban, interaksi guru-siswa terbatas pada jam sekolah. Masyarakat
sekarang yang lebih mengarah ke individualis, terutama di kota-kota besar,
membuat interaksi personal semakin berkurang. (Sekali lagi maaf…ini
kecenderungan yang terlihat menonjol di masyarakat kita). Apakah hal ini
merupakan efek domino dari tuntutan jaman atau sistem pemerintahan kita dalam
menyusun kurikulum?
MATERI PENDIDIKAN
Materi Pendidikan Jaman Dulu
Kurikulum atau materi pendidikan jaman dulu lebih menekankan
pada pembentukan nurani seorang anak, penumbuhan dan penguatan karakter yang
kelak membuatnya mampu membedakan mana yang baik dan benar, untuk kemudian
mengutamakan keadilan, kedamaian, harkat dan martabat manusia terlepas dari
perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Terlepas suatu sekolah itu sekolah
favorit atau tidak, mereka punya kurikulum yang sama. Selolah tidak
terbagi menjadi sekolah nasional, sekolah nasional plus, sekolah internasional.
Materi yang diajarkan kepada siswa di setiap propinsi sama, kalaupun berbeda tidak
terdapat kesenjangan yang mencolok mata.
Materi Pendidikan Jaman Sekarang
Jaman sekarang status sekolah terbagi menjadi menjadi sekolah nasional, sekolah nasional plus, sekolah internasional. Ada istilah diakui, terakreditasi dll. Kurikulum yang digunakan juga berbeda satu dengan lainnya. Ada sekolah yang menggunakan kurikulum Cambridge, ada yang menggunakan kurikulum Montessori, dan lain-lain. Penonjolan keunggulan juga terlihat dari banyaknya jam pengajaran suatu mata pelajaran tertentu, misalnya ada sekolah yang bahasa pengantarnya Inggris, Mandarin. Ironisnya bahasa Indonesia hanya diberikan satu jam per minggu. Bagaimana menanamkan semangat nasionalisme dan kebangsaan bila sejak kecil seorang anak diajari bahwa bahasa yang lebih bergengsi dan diterima di dunia internasional itu adalah bahasa selain bahasa Indonesia?
Di samping itu penekanan tujuan sekolah dititikberatkan pada
cara-cara untuk meningkatkan kecerdasan, prestasi, keterampilan, dan bagaimana
mempersiapkan siswa menghadapi persaingan global di masa depan.
KESIMPULAN
Setiap jaman mempunyai masalah dan situasi yang berbeda.
Sangat naif bila kita sekarang memaksakan kurikulum yang ada pada pendidikan
jaman dulu diterapkan pada kurikulum sekarang. Ibarat pada tahun 1960-an orang
begitu bangga mengenakan celana panjang model cut-bray, tidak mungkin kita
menuntut remaja sekarang juga memakai model yang sama. Mereka akan terlihat
aneh di mata remaja lain yang mengikuti perkembangan model legging jaman
sekarang.
Itu soal pakaian, tentunya beda sekali dengan pendidikan dan
kurikulum yang up-to-date untuk mengembangkan potensi seorang anak manusia.
Lantas kurikulum seperti apa yang ideal? Pola seperti apa yang ingin kita
tanamkan kepada anak Indonesia?
Menurut saya bila seseorang memutuskan memilih berprofesi
sebagai seorang guru hendaklah dirinya juga berpikir, bersikap dan berperilaku
seperti seorang guru. Ada pesan dari seorang dosen saya yang berkata: “Ketika
kita menghukum anak didik, kita juga sedang menghukum diri sendiri.”
Artinya, bila murid melakukan kesalahan maka guru juga punya
andil dalam kesalahan tersebut, dan murid akan mempunyai respek bila guru
tersebut berada di sampingnya dalam mengkoreksi kesalahan tersebut. Ketika
murid dihukum menulis ulang esainya, guru duduk mendampinginya. Guru juga
merasakan apa yang dialaminya. Anak akan segan dan respek pada orang yang mampu
menyelami apa yang dirasakannya.
Saya pribadi juga berharap kurikulum yang akan disusun pada
tahun 2013 mampu mengembalikan kurikulum ke tujuan pendidikan yang utama, yakni:
“Non scholae sed vitae discimus”, yaitu kita belajar bukan untuk nilai sekolah,
namun demi nilai kehidupan. Semoga kurikulum yang baru berisi
elemen-elemen pendidikan yang essensial.
ELEMEN PENDIDIKAN ESSENSIAL
Pendidikan terhadap seorang anak mencakup beberapa segi atau
elemen, yang masing-masing harus ditanamkan kepada anak dalam porsi yang
proporsional, agar kelak mereka bisa mempunyai keseimbangan di antara berbagai
elemen tersebut. Elemen-elemen itu sengaja tidak saya urutkan karena
semuanya sama penting!
Pendidikan
seorang anak seyogyanya mencakup bidang:
- Ilmu Pengetahuan
- Karakter
- Kesenian
- Spiritual / keagamaan.
- Kreativitas
Semua aspek tersebut diperlukan untuk mendidik dan membina
seorang anak agar menjadi seorang insan yang berpengetahuan dan kreatif,
mencintai bangsa, berhati nurani dan bijaksana. Anak Indonesia juga harus
mempunyai keterampilan, kompetensi seperti anak-anak di negara lain. Sekarang
sudah jaman globalisasi, tentulah anak juga perlu kreativitas menciptakan
peluang untuk kehidupan yang lebih baik. Kreativitas itu mencakup kreatif dalam
berpikir, kreatif dalam bertindak dan kreatif dalam memprediksi hal atau masa
yang akan datang.
Bila tujuan, visi dan misi sudah ditegakkan, kita perlu
mencacah ke bagian lebih lanjut, yaitu bagaimana mewujudkan visi misi tersebut?
Bagaimana menerapkan dan mengawasi jalannya kurikulum yang baru itu? Apa
proporsi yang ideal antara meningkatkan karakter dan ilmu pengetahuan?
Bagaimana agar pendidikan bisa dinikmati merata di semua kalangan? Bagaimana
menentukan kriteria keberhasilan suatu pendidikan?
PENUTUP (Proses Pendidikan)
Proses pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung
seumur hidup, dimulai pada saat ia dilahirkan. Hal ini berarti keberhasilan
seorang anak terbentuk dari pendidikan yang diterimanya, yakni dari: keluarga,
sekolah dan lingkungan atau komunitas di mana anak tersebut tumbuh
(dibesarkan). Dan sifatnya adalah jangka panjang dan berkelanjutan. Anak-anak
hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang matang bila dibesarkan di lingkungan
yang berkarakter, sehingga hakekat setiap anak yang dilahirkan suci dapat
berkembang secara optimal. Dan karakter yang ini terbentuk dari suatu kebiasaan
(habit) yang terus menerus dipraktekkan.
Anak belajar paling banyak dari apa yang dilihat dan
didengarnya, oleh sebab itu sangat penting menempatkan anak di lingkungan yang
bisa membina dan mendidik anak untuk menjadi seorang manusia yang dewasa, penuh
kasih sayang, cerdas, mampu berempati dengan orang lain, jujur, bertanggung jawab
dan dapat diandalkan serta berhati nurani. Sekali lagi ini berarti faktor
peranan keluarga, pendidikan formal dan informal, dan komunitas sangat
menentukan. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai pihak otoritas hendaknya
mengkaji sedalam-dalamnya aspek dari dilaksanakannya program ini, baik yang
positif maupun yang negatif.
Semoga
tulisan ini bermanfaat bagi dunia pendidikan kita.
sumber: Ling Majaya
PENDIDIKAN DI INDONESIA
JAMAN SEKARANG (post 2)
Pendidikan merupakan
hal yang sangat penting bagi semua orang pada era ini. Di Indonesia pendidikan
juga sudah diperhatikan sejak dulu oleh pemerintah. Seperti contohnya
pemerintah mengharuskan warganya untuk berpendidikan minimal hingga tingkat
SMP. Hal ini meningkat dibandingkan taun-taun sebelumnya yang hanya tingkat SD.
Namun banyak sekali kejanggalan-kejanggalan di bidang pendidikan.
Pemerintah
mewajibkan hingga tingkat SMP, tetapi kenyataannya sekarang ini mencari
pekerjaan bersyaratkan minimal lulus SMA. Lalu bagaimana dengan nasib mereka
yang tidak mampu dan hanya dapat menempuh hingga jenjang SMP tersebut. Apakah
pemerintah berfikir sejauh itu untuk mencerdaskan anak bangsa.
Bagi mereka yang
kurang mampu, mengenyam pendidikan hingga SMP sudahlah sangat baik. Pemerintah
memberikan dana BOS untuk tingkat SD dan SMP, tetapi dimana dana tersebut.
Apakah warga yang kurang mampu yang ingin bersekolah hanya diberikan dana
tersebut yang sangat kurang bagi mereka. Peralatan sekolah bukannya masuk dalam
dana BOS tersebut. Dana BOS hanya digunakan untuk oprasional sekolah saja,
bagaimana dengan kebutuhan siswa yang kurang mampu seperti tas, sepatu, buku
untuk mencatat dan lain sebagainya.
Bila pemerintah
menjawab itu dengan beasiswa yang ada apakah beasiswa itu dibagikan kepada
seluruh siswa? Hanya segelintiran orang yang beruntung yang mendapatkan
beasiswa yang benar-benar membutuhkan . banyak sekali dana-dana seperti BOS dan
beasiswa mengarah ke orang-orang yang dari segi ekonomi sudah mapan. Mereka
yang mapan juga menginginkan uang bagi mereka yang kurang mampu.
Hal di atas hanya
dari segi ekonomi dan oprasional anak-anak sekolah. Belum lagi hasil yang
didapat anak-anak yang kurang mampu tersebut, yang hanya dapat bersekolah di
sekolah bersubsidi. Kinerja para guru yang kurang efisien juga menambah para
pendidikan sekarang. Guru di sekolah swasta lebih efisien mengajarnya ketimbang
guru negeri. Di sekolah negeri banyak jam kosong karena guru mereka pergi
ataupun rapat, sehingga mereka hanya diberikan tugas-tugas mandiri. Banyak lagi
kendala yang dihadapi anak yang kurang mampu yang bersekolah di negeri.
Bila tugas-tugas
mandiri tersebut diberikan kepada anak yang kurang mampu bagaimana mereka dapat
mencari jawaban yang pasti, karena mereka saja untuk sekolah memerlukan berpikir
panjang apalagi untuk mencari jawaban yang diluar sekolah. Apakah hal ini
efisien?
Bagi siswa yang bersekolah di swasta, guru jarang sekali kosong, bila kosong mereka diberi tugas dan mereka pun bisa mencari di internet karena mereka memiliki uang yang lebih. Masih ditambah mereka les di luar sekolah. Banyak sekali tambahan-tambahan ilmu yang mereka dapat.
Jadi apakah siswa
yang kurang mampu yang bersekolah di negeri dan tidak mendapatkan fasilitas
apapun, hanya oprasional sekolah yang mereka juga tidak memakai. Padahal
presentasi siswa yang kurang mampu lebih banyak daripada siswa yang mampu.
Haruskah bibit-bibit
generasi muda Indonesia akan selamanya terpuruk. Dan hanya orang-orang yang
memiliki uang yang bisa berkembang di era globalisasi sekarang ini yang serba
canggih.
Ini adalah PR besar
bangsa untuk memperbaiki generasi muda agar Negara ini bisa diperbaiki dari
akar-akarnya.
berharap tulisan ini bisa untuk sebagai renungan tentang keberadaan Pendidikan di Negeri ini.
berharap tulisan ini bisa untuk sebagai renungan tentang keberadaan Pendidikan di Negeri ini.
Sumber : rena.angel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar